Skip to main content

seandainya...

gantungkanlah cita-citamu setinggi langit.

hah, seandainya dulu peribahasa itu berbunyi, "gantungkanlah cita-citamu setinggi langit-langit", pasti saya gak akan merasa setertekan ini. haha, kalau kamu lagi baca tulisan saya sekarang, pasti kamu bertanya-tanya, "Ini orang kenapa lagi? Udah kerjaannya curhat, sekarang ngerasa tertekan?". Yes, I am depressed, but still in a tolerable way. Mungkin kalian bingung akan hal apa yang bisa bikin seorang Audrey merasa tertekan, tapi ya memang ada karena saya bukan manusia super. Mungkin terdengar cupu atau payah, tapi KULIAH lah yang membuat saya tertekan untuk sekarang ini. Tugas yang gak kunjung berhenti, bacaan yang harus diselesaikan, belum selesai sudah ada bacaan yang baru lagi, deadline membuat essay, dan masih banyak lagi.

Sekedar informasi saja, bagi yang belum tahu, saya seorang mahasiswi sastra inggris Universitas Padjadjaran 2009. Di posting saya sebelumnya (history), saya pernah cerita kalau sebenarnya saya itu angkatan 2007 yang menunda 2 tahun lamanya untuk masuk ke bangku perkuliahan. Singkat cerita, karena saya merasa sangat tertinggal dari teman-teman seangkatan saya (2007), maka saya menargetkan diri saya sendiri untuk lulus paling tidak 3,5 tahun, tidak boleh lebih tetapi kurang lebih baik. Pada semester-semester awal saya merasa santai saja walau mengambil mata kuliah ke atas. Tapi semakin kesini, semakin terasa kalau gunung yang harus saya daki kok makin curam ya? hm.

Sekarang saya sudah masuk semester 5 dan sudah mengambil mata kuliah pengutamaan SASTRA. Jadi kalau di UnPad ada 3 pengutamaan yang nantinya harus dipilih, yaitu Sastra, Linguistik, dan Terjemahan. Saya dengan modal nekat, memilih sastra dan dimulailah segala mimpi buruk ini. Mengambil pengutamaan sastra berarti harus mau dipaksa untuk membaca puluhan karya, fiksi essay maupun teori. Awalnya biasa saja walau harus berhadapan dengan pil-pil pahit tersebut, tapi tapi tapi... lama-kelamaan jadi seonggok batu besar yang berdiam di atas pundak, menjadi beban yang tak dapat dinikmati.

Selalu ada bacaan tiap minggunya, untuk setiap mata kuliah. belum selesai di baca, sudah ada bacaan yang menunggu di depan untuk dilahap habis. Lelah. Penat. Bosan. Rutinitas yang sangat menyebalkan. Air mata kadang sudah tidak bisa ditahan lagi sehingga tumpah tak terkendali. Ingin berhenti kuliah bukan menjadi pikirian yang hanya sekali-dua kali muncul, namun hampir setiap minggu. Sering saya berpikir kalau saya butuh seorang psikolog untuk menolong perasaan tertekan saya, namun orang pasti tertawa atau melecehkan. Manja, mengeluh terus. KALIAN GAK NGERTI APA YANG SEDANG SAYA HADAPI. Memang ini resiko yang harus saya tanggung, semua akibat komitmen yang sudah saya buat. Senjata makan tuan, mungkin?

Tapi bagaimana pun juga, tidak henti-hentinya saya diingatkan kalau masih banyak sosok yang dengan senang hati akan mendukung saya. Keluarga, sahabat, pacar, banyaaaak! Terutama Tuhan Yesus yang gak ada capek-capeknya memberi support lewat firmanNya yang hidup. Ketika terpuruk, saya selalu ingat satu ayat dari Filipi 4: 6, "Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Tuhan dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur."

Comments

Popular posts from this blog

Kamu Kan Perempuan, Seharusnya Kamu....

Pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat seperti itu di depanmu? Saya, sih, sering. Mulai dikomentari dari segi penampilan dan keahlian, tapi juga dari pilihan musik dan masih banyak lagi. Banyak perempuan di luar sana yang mengeluh merasa didikte oleh laki-laki dengan kalimat ini, tapi entah mengapa saya merasa kalimat ini dilontarkan lebih banyak oleh sesama perempuan. Hal ini menjadi miris buat saya. Bukannya saling memberi dukungan, terkadang sesama perempuan justru saling menghakimi. Penghakiman itu biasanya dimulai dengan kalimat, "Kamu kan perempuan, seharusnya kamu..." 1. "...berpakaian rapi." Saya termasuk perempuan yang suka berpenampilan rapi, tapi kadang juga suka mengikuti mood. Jadi ketika saya ingin tampil rapi, saya bisa saja mengenakan rok span, blouse, serta clog shoes ke kantor. Namun kalau sedang ingin tampil kasual dan malas tampil rapi, saya biasanya memakai kaos, jeans, dan sneakers . Suatu hari saya pernah berpenampil...

my taurus-mate, Mellysa Anastasya Legi.

Saya gak tau gimana ceritanya kami berdua bisa begitu mirip secara kelakuan dan cara berpikirnya. Saya gak ngerti kenapa teman saya ini walau cantik luar biasa tapi kelakuannya sama aja cacatnya sama saya. Saya gak ngerti. Tapi yang saya ngerti, kami sama-sama MUREEEEE... :D

Belajar Mengucap Syukur Lebih Lagi

Selamat tahun baru! Woooh, tahun 2020 ini diawali dengan hal yang mencengangkan banyak orang sepertinya. Banjir yang merata hampir di semua wilayah Jabodetabek (termasuk rumahku di Bintaro tercinta) bikin banyak orang mikir, YA KOK BISA? Bahkan wilayah yang puluhan tahun enggak pernah banjir pun tidak luput merasakan rumahnya tergenang. Walau saya orangnya tidak sepositif ibu saya, beliau kerap berucap, "Puji Tuhan awal tahun dikasih icip hujan berkat sebanyak ini. Tetap ucap syukur." Kadang ketaatan beliau bikin saya geleng-geleng kepala dan nggak habis pikir.  Rumah kemasukan air sampe tergenang dan barang banyak yang terendam, masih bisa ucap syukur. Dulu disakitin sama keluarga sendiri, masih aja ucap syukur. Diizinkan merasakan sakit apa pun itu, tetap ucap syukur. Bahkan kadang saya suka ngedumel dalam hati, ini orang lama-lama bisa masuk golongan toxic-positivity peeps.  Tapi sebelum saya makin terjerumus dalam lembah pergunjing...