Anak perempuan itu mematut dirinya di depan cermin. Ia memerhatikan pantulan tubuhnya di sana seakan memastikan penampilannya tetap baik-baik saja. Rambutnya yang panjang bergelombang terikat setengah dan ia mengikatnya dengan pita hijau transparan. Tubuhnya terbalut gaun berbahan batik dengan panjang setengah betis. Sejauh ini, inilah gaun yang menurutnya paling cantik yang pernah ia kenakan. Sekali lagi ia merapikan rambutnya dan menyelipkan sebagian ke belakang daun telinganya. Ia mengangguk kecil dan beranjak pergi.
Ia berdiri diam di depan pintu gereja itu. Cukup lama ia memandangi pintu gereja yang sudah terbuka sedikit, sehingga ia bisa melihat sedikit suasana di dalamnya. Ada rasa ragu dalam hatinya apakah ia harus melangkahkan kakinya masuk atau diam saja di tempatnya berdiri. Namun lamunannya buyar seketika ketika seorang teman menggandeng tangannya dan mengajaknya untuk masuk ke dalam. "Ayo, sudah mau di mulai," katanya.
Wajahnya tersenyum dan mengikuti langkah sang teman. Ia duduk di bangku kayu urutan ketiga dari depan di sisi sebelah kanan. Ia merapikan gaunnya sekali lagi, tidak ingin dia terlihat berantakan sedikit pun. Lonceng gereja akhirnya berdentang tiga kali tepat di pukul delapan pagi itu. Jantungnya berdegup kencang. Lalu pintu gereja terbuka lebar dan masuklah sepasang pengantin yang akan menikah sebentar lagi. Anak perempuan itu kembali tersenyum, namun bukan senyum ceria yang sering membuat matanya hilang.
Senyum kehilanganlah yang dibentuk oleh bibirnya. Kehilangan sosok kekasih yang sebentar lagi akan menjadi milik perempuan lain. Tapi pagi ini ia memiliki tugas penting. Ia harus bernyanyi untuk mengiringi kedua pengantin tersebut hingga akhir prosesi pernikahan. Ia harus bernyanyi untuk kekasihnya yang sebentar lagi menjadi milik perempuan lain.
Malam itu, dalam perjalanannya kembali ke rumah, sebuah pesan masuk. Sang kekasih. Ia membuka pesan itu tanpa pikir panjang. "Selamat ulang tahun," bunyi pesan itu. Malam itu sang perempuan bertambah umurnya satu tahun lagi. Selamat ulang tahun ke-duapuluh, hai perempuan. Mungkin ini bukan hadiahmu yang terindah. Telanlah kepahitan itu sekarang, walaupun aku tidak bisa menjamin kau tidak akan merasakan hal yang sama 6 tahun kemudian.
Ia berdiri diam di depan pintu gereja itu. Cukup lama ia memandangi pintu gereja yang sudah terbuka sedikit, sehingga ia bisa melihat sedikit suasana di dalamnya. Ada rasa ragu dalam hatinya apakah ia harus melangkahkan kakinya masuk atau diam saja di tempatnya berdiri. Namun lamunannya buyar seketika ketika seorang teman menggandeng tangannya dan mengajaknya untuk masuk ke dalam. "Ayo, sudah mau di mulai," katanya.
Wajahnya tersenyum dan mengikuti langkah sang teman. Ia duduk di bangku kayu urutan ketiga dari depan di sisi sebelah kanan. Ia merapikan gaunnya sekali lagi, tidak ingin dia terlihat berantakan sedikit pun. Lonceng gereja akhirnya berdentang tiga kali tepat di pukul delapan pagi itu. Jantungnya berdegup kencang. Lalu pintu gereja terbuka lebar dan masuklah sepasang pengantin yang akan menikah sebentar lagi. Anak perempuan itu kembali tersenyum, namun bukan senyum ceria yang sering membuat matanya hilang.
Senyum kehilanganlah yang dibentuk oleh bibirnya. Kehilangan sosok kekasih yang sebentar lagi akan menjadi milik perempuan lain. Tapi pagi ini ia memiliki tugas penting. Ia harus bernyanyi untuk mengiringi kedua pengantin tersebut hingga akhir prosesi pernikahan. Ia harus bernyanyi untuk kekasihnya yang sebentar lagi menjadi milik perempuan lain.
Malam itu, dalam perjalanannya kembali ke rumah, sebuah pesan masuk. Sang kekasih. Ia membuka pesan itu tanpa pikir panjang. "Selamat ulang tahun," bunyi pesan itu. Malam itu sang perempuan bertambah umurnya satu tahun lagi. Selamat ulang tahun ke-duapuluh, hai perempuan. Mungkin ini bukan hadiahmu yang terindah. Telanlah kepahitan itu sekarang, walaupun aku tidak bisa menjamin kau tidak akan merasakan hal yang sama 6 tahun kemudian.
Comments