Dia pergi memberi luka dalam.
Memberi sesak, mual, tangis.
Tapi anehnya aku mengingikannya kembali.
Bukan untuk kugenggam tangannya,
tapi sekedar teman berbincang.
Temanku berkata, "Buat apa? Ia akan menyakitimu lagi nanti."
Diam-diam setiap malam kupanjatkan ingin.
Aku ingin ia kembali.
Oh, Tuhan akhirnya mendengar doaku!
Ia kembali, tapi bukan untuk kugenggam tangannya.
Hanya untuk kupandang, dari jauh dan dalam diam.
Suatu malam ia menawarkan kembali persahabatan
Ganjil, namun kusambut bahagia.
Kuundang kembali ia masuk.
Tapi bukannya masuk dengan bilang, "Permisi,"
ia justru mendobrak masuk.
Ia memorak-porandakan semuanya.
Semua.
Semua.
Aku mencoba berteriak dan memohon padanya untuk berhenti,
tapi ia hanya tersenyum simpul dan menatapku dengan bengis.
Aku hanya bisa berpikir,
"Mengapa? Apa ini karena doaku? Apa aku memanjatkan doa yang salah?"
Lalu tiba-tiba ia berhenti dengan terengah-engah.
Ia menunjukkan kepuasannya,
seakan ia telah menuntaskan tugas mulia.
Aku hanya bisa menatap ruanganku yang telah ia hancurkan.
Yang ada di kepalaku saat itu adalah sosok seorang teman dan kubisikan, "Tolong..."
Dia pergi lagi dan meninggalkan luka dalam.
Luka dalam dan rasa jijik.
Ia berhasil.
Ia berhasil membuatku merasakan rasanya diperkosa.
Memberi sesak, mual, tangis.
Tapi anehnya aku mengingikannya kembali.
Bukan untuk kugenggam tangannya,
tapi sekedar teman berbincang.
Temanku berkata, "Buat apa? Ia akan menyakitimu lagi nanti."
Diam-diam setiap malam kupanjatkan ingin.
Aku ingin ia kembali.
Oh, Tuhan akhirnya mendengar doaku!
Ia kembali, tapi bukan untuk kugenggam tangannya.
Hanya untuk kupandang, dari jauh dan dalam diam.
Suatu malam ia menawarkan kembali persahabatan
Ganjil, namun kusambut bahagia.
Kuundang kembali ia masuk.
Tapi bukannya masuk dengan bilang, "Permisi,"
ia justru mendobrak masuk.
Ia memorak-porandakan semuanya.
Semua.
Semua.
Aku mencoba berteriak dan memohon padanya untuk berhenti,
tapi ia hanya tersenyum simpul dan menatapku dengan bengis.
Aku hanya bisa berpikir,
"Mengapa? Apa ini karena doaku? Apa aku memanjatkan doa yang salah?"
Lalu tiba-tiba ia berhenti dengan terengah-engah.
Ia menunjukkan kepuasannya,
seakan ia telah menuntaskan tugas mulia.
Aku hanya bisa menatap ruanganku yang telah ia hancurkan.
Yang ada di kepalaku saat itu adalah sosok seorang teman dan kubisikan, "Tolong..."
Dia pergi lagi dan meninggalkan luka dalam.
Luka dalam dan rasa jijik.
Ia berhasil.
Ia berhasil membuatku merasakan rasanya diperkosa.
Comments