Skip to main content

Surat Seruni


Sehari setelah kejadian itu, aku menemukan beberapa lembar surat dalam laci meja belajarnya.  Dalam setiap suratnya, aku dapat merasakan sakit hati yang ia rasakan. Setiap lembarnya telah aku baca. Setiap katanya telah aku ingat. Hanya menangis yang dapat kulakukan setelah aku mengetahui betapa anakku membenciku. Betapa ia memendam dendam yang begitu dalam kepadaku, begitu lamanya. Semua itu memang karena kesalahanku , kesalahan yang telah menyakiti hatinya dan hati ayahnya. Kembali kubaca surat yang ditulisnya pada hari dimana hal itu terjadi…
***

Aroma cokelat yang tercium dari ruang tamu mengingatkan aku akan masa kecilku. Wanginya yang manis dan menyegarkan membawaku kembali ke masa dimana ayah selalu memanjakan aku dengan sekotak coklat Toblerone yang lembut dan caramel yang banyak. Menyenangkan. Karena itu aku mengutuk hari ini, esok, dan seterusnya.
 Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, namun aku memang sudah muak akan dunia ini. Nasibku yang begitu malang dan segala impianku yang hancur membuatku ingin berhenti sepenuhnya. Sepenuhnya. Terutaman dengan suara yang selalu memanggilku di pagi hari.
“Seruni, makan! Sarapan, nak.”
Suara yang membuat aku muak, membuat aku merinding. Suara ibuku. Aku tidak mengerti mengapa suara ibuku bisa berubah menjadi memuakan seperti itu. Padahal, dulu ketika aku masih kecil suara ibuku terdengar seperti suara malaikat dari surga. Dulu ketika ia membangunkan aku di pagi hari dengan suaranya yang lembut itu, aku pun terbangun dengan semangat melewati hari. Namun sekarang, mendengar suaranya saja membuat aku ingin membunuhnya. Ya, membunuhnya. Rasanya ingin aku mencekik tenggorokannya itu, sehingga tak akan ada lagi suara yang keluar dari mulutnya. Hal yang seharusnya kulakukan dari dulu. Tepat setelah suaranya berubah menjadi memuakan.
Perempuan itu menyiapkan secangkir coklat panas dan dua buah roti panggang. Menu yang telah kujalani selama 17 tahun. Bosan, sehingga aku mulai mengutuk hari ini. Kuteguk coklat panas itu sedikit demi sedikit, namun kubiarkan saja dua lembar roti itu di atas piring.
“Rotinya tidak kau habiskan, nak?”
“Tidak. Aku bosan. Lebih baik kau bersihkan saja.”
“Ibu. Kau seharusnya memanggilku ‘ibu’, Seruni.”
Namun aku tidak menghiraukan apa yang perempuan itu katakan. Ia membereskan piringku dan piring-piring kotor lainnya. Lalu ia pergi ke dapur dan aku hanya dapat melihat punggungnya dari sini. Punggungnya bergetar. Aku mulai membereskan perlengkapan sekolahku karena sebentar lagi aku harus berangkat. Kuikat tali sepatuku dan aku mulai melangkah keluar rumah, namun suara memuakan itu memanggilku.
“Seruni, ini. Jangan lupa bawa bekalmu.”
“Tidak perlu. Aku tidak mau.” Aku menjawab tanpa menoleh dan pergi dengan membanting pintu. Mungkin kalian menganggap aku anak yang durhaka, kurang ajar dan sebagainya. Namun aku mempunyai alasan yang bagus untuk bersikap seperti ini. Hitung-hitung sebagai hukuman untuk perempuan itu, dan sepertinya perempuan itu pun mengerti akan sikapku ini. Hah! Perempuan yang pengertian.

Perempuan yang pengertian. Begitulah anggapan Seruni terhadapku. Padahal aku tidak mengerti mengapa Seruni dapat berbuat senekat itu, seakan setiap perbuatanku tidak ada artinya. Sia-sia. Seruni, ayahnya, semuanya. Mereka semua tidak lagi menganggap aku benar. Tidak ada juga yang membelaku.  Ketika dulu aku bekerja demi menambah penghasilan keluarga, bekerja dengan sekuat tenaga, tidak ada juga yang menghargaiku. Ayah Seruni, yang amat dikagumi oleh Seruni, nyatanya tetap menganggap aku kurang bekerja keras. Namun bukannya bekerja sama kerasnya denganku, ia lebih memilih untuk menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang tidak berguna. Alkohol. Aku pun sudah lupa, semenjak ketergantungannya dengan minuman keras itu, seberapa sering ia benar-benar bercinta denganku. Jarang. Ia juga tidak segan-segan pulang dengan keadaan mabuk dan melayangkan beberapa tamparan padaku di waktu ia kesal. Seruni kecil tentu saja tidak menyadari perbuatan ayahnya, dan ia tetap mengidolakan ayahnya.
Setelah membaca sebagian isi surat ini, aku dapat merasakan betapa tersiksanya Seruni ada di dekatku. Tapi apakah ia juga dapat merasakan betapa aku juga tertekan dengan segala perlakuannya terhadapku? Segala perlakuan ayahnya terhadapku! Maka pada saat itu aku sempat benar-benar tidak peduli dengan rumah tanggaku. Aku ingat pertama kalinya aku bertemu dengan Harry, seorang pengusaha yang baik. Kami bertemu pada saat makan siang, dimana pada saat itu aku harus menemaninya makan siang karena ia adalah salah satu klien penting perusahaan tempat aku bekerja.  Semua berjalan dengan baik saja sampai suatu hari aku melakukan kesalahan besar yang akhirnya diketahui oleh suamiku. Mental suamiku yang memang sudah terganggu karena ketergantungannya akan alkohol, tidak dapat menerima bahwa aku berpaling ke pria lain. Pada akhirnya, ia meninggalkan aku dan Seruni karena serangan jantung. Seruni, andai kau tahu bangaimana dulu ayahmu memperlakukanku, mungkin pada saat ini kau tidak akan memperlakukan ibu seperti itu. Mungkin kau masih ada bersama-sama dengan ibu.

Sepanjang perjalanan aku baru menyadari bahwa jalan basah. Ternyata semalam hujan.  Kuinjak genangan air sisa hujan semalam. Aku suka bermain air, mengingatkan aku akan ayah.  Ayah yang baik. Sekolah akhirnya kelihatan di ujung jalan. Aku sebenarnya suka sekolah, namun… menjadi tidak menyenangkan karena suatu hal. Kelas pertama adalah fisika. Menyenangkan, kalau saja sang guru tidak terlalu banyak menyebut namaku di depan kelas. Dia terlalu cerewet, terlalu mengumbar kata-kata yang tidak penting. Ia selalu berkata, “Seruni coba kerjakan…” atau, “Coba kalian seperti Seruni..”. Cerewet! Kali ini ia menyuruhku mengerjakan soal di papan tulis dan senang berlebihan ketika aku bisa menyelesaikannya dengan benar. Setelah kelas berakhir, ia menghampiriku.
“Seruni, kamu akan ibu sertakan dalam Olimpiade Fisika Tingkat Nasional tahun ini. Besok kita mulai latihan soal-soal.”
“Tapi bu….”
“Saya harap tidak ada argumen dari kamu. Kamu adalah harapan terbesar ibu, Seruni.” Ia pun melangkah pergi. Suara sepatunya yang keras membuatku ingin mematahkan kedua kakinya itu, agar tidak lagi terdengar. Sejenak aku memikirkan kata-katanya tadi. Ingin rasanya aku menyumpal mulutnya sehingga ia diam dan berhenti mengaturku. Atau haruskah aku membunuhnya juga?

Tidak terasa sudah waktunya pulang. Tandanya aku harus berhadapan lagi dengan perempuan itu. Menyebalkan. Dan ternyata genangan airnya sudah kering. Jarak antara rumahku dan sekolah cukup dekat, dan aku pasti melewati sebuah toko kue kecil. Aku selalu mampir untuk membeli sebuah blueberry cheesecake setiap hari. Setidaknya ada satu hal menyenangkan setiap harinya.
“Blueberry Cheesecake lagi, nak?”
“Iya.”
“Kau benar-benar menyukainya ya? Ini. Hari ini gratis. Karena kau pelangganku yang paling setia.”
“Terimakasih.”
Aku keluar dari toko itu. Bibi yang benar-benar baik. Aku pun berhenti sejenak di taman untuk melihat kueku. Cantik dan menggiurkan. Tapi aku tahan nafsuku untuk memakannya. Akan kumakan di rumah. Memakannya di rumah dapat memberikan aku kebahagiaan di tengah suasana yang menyebalkan.
Sesampainya aku di rumah, aku masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu. Kusantap blueberry cheesecake dengan perlahan. Menikmati segala kelezatan yang ada. Ketika sudah hampir habis, tiba-tiba perempuan itu mengetuk pintu kamarku. Dasar pengganggu.
“Seruni? Kau sudah pulang nak?” seru perempuan itu. Namun aku tidak menjawab. “Seruni? Bisa tolong keluar sebentar?”
Aku membuka pintu kamar setelah sejenak aku berpikir. Aku menatapnya, tetap diam.
“Seruni, ibu tadi ditelepon oleh pihak sekolah. Mereka mengatakan bahwa prestasimu menurun drastis semester ini. Ada apa nak?”
“TIdak ada apa-apa.”
“Nak, kalau ada yang perlu kamu bicarakan kamu bisa bilang pada ibu.”
“Tidak ada apa-apa. Sekarang boleh aku kembali ke kamar?”. Aku mulai beranjak ke kamar ketika tiba-tiba perempuan itu menarik lenganku. Rasanya ingin kutampar dia. Bagaimana bisa ia menyentuhku dengan tangannya yang kotor itu? Aku sadar sekarang aku menatapnya dengan sangat bengis dan aku tidak peduli.
“Kau tidak sepantasnya melakukan ini pada ibu. Apa salah ibu, nak? Sehingga kau selalu bertindak seolah ibu tidak ada di depanmu? ”
“’Apa salah ibu?’? Kau malah tidak tahu salahmu apa? Kau tidak ingat apa yang kau perbuat terhadap ayah dulu?”. Perempuan itu tercengang mendengar jawabanku ini. Matanya terbelalak, dan mulutnya seperti dibungkam oleh sesuatu sehingga tidak dapat membalas perkataanku.
“Kau.. kau masih mempermasalahkan hal itu, nak? Setelah sekian lama ibu sudah… ”
“Meminta maaf? Bagiku, kesalahanmu adalah untuk selamanya. Dan aku sudah memutuskan bahwa mungkin dengan begini, dengan menganggapmu sebagai angin lalu, itu dapat menjadi hukuman yang pantas untukmu. Kau lah penyebab dari kematian ayah!”.
Plak! Kurasakan panas di pipiku. Ternyata perempuan itu menamparku. Huh.
“Tidak seharusnya kau menyalahkan ibu atas kematian ayahmu. Tolong mengertilah, Seruni… ”. Perempuan itu mulai menitikkan air mata. Air mata buaya, pembohong. Dulu perempuan itu juga pernah berbohong. Berbohong kepadaku dan ayah. Dasar perempuan yang tidak setia!
“Tidak ada gunanya menangis. Kau memang bersalah. Dan aku akan selalu mengingatnya,”.
“Seruni, kau adalah satu-satunya yang ibu miliki di dunia ini. Jangan kau seperi ini, nak. Kau satu-satunya harapan ibu.”
“Jangan pernah mengucapkan satu kata lagi dari mulutmu! Kalau kau tetap berbicara, aku akan membunuhmu! Ya, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu sekarang! Suatu saat aku pasti akan membunuhmu. Jadi, lebih baik kau diam!” Dengan cepat aku masuk ke dalam kamar.
Akan aku bunuh semua! Semuanya! Hari ini juga, akan aku bunuh semuanya!

Kupandangi lagi surat itu. Setiap kata yang ia tulis sama dengan apa yang diucapkannya dan yang aku ucapkan. Aku kembali mengingat bagaimana pagi itu aku menemukannya di dalam kamar. Dimana hilanglah harapan hidupku pada saat itu juga…

Pagi ini telah kusiapkan coklat panas dan dua lembar roti panggang seperti biasanya. Aku tahu pada akhirnya Seruni hanya akan meminum coklat panasnya.
“Seruni, makan! Sarapan, nak!” Itulah kata-kata yang aku ucapkan setiap pagi. Kulihat jarum pada jam dinding, dan tidak biasanya Seruni begitu lama keluar kamar setelah kupanggil untuk sarapan. Kuberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarnya. Jujur, aku merasa sangat terluka dengan  segala perkataan Seruni kemarin. Setelah pertengakaran kemarin siang, Seruni tidak keluar lagi dari kamar. Kupanggil beberapa kali untuk makan malam, namun ia tidak menjawab. Seperi sekarang ini.
“Seruni, makan nak. Sarapannya sudah siap. Nanti kau terlambat sekolah kalau tidak dimakan sekarang.” Tidak ada jawaban. Akhirnya aku mencoba membuka pintu kamarnya dan ternyata tidak dikunci. Kuintip dahulu, takut Seruni tidak suka akan perbuatanku ini. Kenapa kamar ini begitu gelap? Apa dia masih tidur? Aku pun masuk untuk menyalakan lampu. Namun aku menginjak sesuatu yang aneh, sesuatu yang basah, hangat dan agak kental. Aku pun cepat-cepat menyalakan lampu dan apa yang kulihat adalah pemandangan yang paling mengerikan dalam hidupku. Seruni, dengan memakai daster putih pemberian terakhir ayahnya, disimbahi oleh darah yang mengalir dari pergelangan tangan kirinya. Aku histeris. Kupeluk dirinya yang yang berwajab pucat kebiru-biruan dan tubuh penuh darah. Di dekat tangan kanannya terdapat secarik kertas dan potongan sisa blueberry cheesecake. Aku membacanya.
“Aku sudah membunuh kalian. Lihat, aku sudah membunuh kalian semua. Aku sudah membunuh harapan kalian padaku. Sudah kubunuh semuanya.” –S.

Kukumpulkan surat-surat itu dan kukembalikan ke dalam laci meja belajarnya. Surat Seruni. Maafkan ibu, nak. Maafkan ibu…

Comments

Popular posts from this blog

Kamu Kan Perempuan, Seharusnya Kamu....

Pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat seperti itu di depanmu? Saya, sih, sering. Mulai dikomentari dari segi penampilan dan keahlian, tapi juga dari pilihan musik dan masih banyak lagi. Banyak perempuan di luar sana yang mengeluh merasa didikte oleh laki-laki dengan kalimat ini, tapi entah mengapa saya merasa kalimat ini dilontarkan lebih banyak oleh sesama perempuan. Hal ini menjadi miris buat saya. Bukannya saling memberi dukungan, terkadang sesama perempuan justru saling menghakimi. Penghakiman itu biasanya dimulai dengan kalimat, "Kamu kan perempuan, seharusnya kamu..." 1. "...berpakaian rapi." Saya termasuk perempuan yang suka berpenampilan rapi, tapi kadang juga suka mengikuti mood. Jadi ketika saya ingin tampil rapi, saya bisa saja mengenakan rok span, blouse, serta clog shoes ke kantor. Namun kalau sedang ingin tampil kasual dan malas tampil rapi, saya biasanya memakai kaos, jeans, dan sneakers . Suatu hari saya pernah berpenampil...

Mencoba Perawatan Facial dan Massage di Umandaru Salon & Day Spa Bintaro

Mumpung lagi semangat-semangatnya nulis lagi, jadi sekalian aja deh bahas pengalaman saya facial dan massage di Umandaru Salon and Day Spa yang ada di Bintaro. Berawal dari rencana cuti sehari karena mau medical check up di pagi harinya (baca pengalaman medical check up di sini ), lalu diri ini punya ide, "Hmmm... sudah lama tidak me time. Apakah lanjut pampering diri yang sudah butek ini?" Akhirnya saya bagikan kegundahan ini di IG Story dan bertanya pada teman-teman super, enaknya ke mana kalau mau facial dan massage di area Bintaro. Ada beberapa rekomendasi yang masuk, seperti Platinum Wijaya, Anita Salon, dan salah satunya Umandaru Spa. Nah, kalau Platinum Wijaya dan Anita Salon, saya sudah sering dengar soal dua tempat facial/salon ini, tapi tidak untuk yang Umandaru Spa. I want something new. Asheeek. Akhirnya coba search di Instagram dan ternyata Umandaru Spa menawarkan cukup banyak pilihan perawatan, mulai dari facial, spa, massage, sampai creambath dan meni...

Pengalaman Medical Check Up di Rumah Sakit Jakarta

Sumber: http://www.yayasanrsjakarta.org Detik-detik menuju umur 30 tahun. Inhale. Exhale. *dramak* Sebenarnya nggak detik-detik juga, sih. Masih hitungan bulan dan bukan termasuk orang yang takut untuk memasuki umur baru, kecuali ketika saya memasuki umur 27 tahun. Sila baca cerita absurd nan yahudnya di sini . Sulit dipercaya, namun saya adalah orang yang santai dan tidak takut beranjak tua, tidak takut keriput, dan tidak takut dengan kematian. Cause one day, we'll die anyway.  Walau rutinitas skincare saya termasuk banyak dan lumayan rajin menunaikan ibadah 7 steps, tapi itu bukan untuk menghalau datangnya keriput di usia senja (ya kali nggak keriputan...). Lebih untuk menjaga kondisi kulit di usia sekarang biar tak kusan. Ya, syukur-syukur kalau nanti pas tua nggak jadi kelihatan kuyu. Tetap glowing adalah tujuan heyduuup. Namun, bukan berarti saya termasuk yang nggak peduli dengan kesehatan, apalagi saya sadar kalau semakin tua umur kita, akan semakin mudah kita ...