Hari ini saya mau cuhat lagi ah. Setelah cerita tentang si Bapak Bacot saya belum cerita apa-apa lagi kan ya? Ha ha. Saya mau cerita tentang bagaimana emosi saya sedang dipermainkan hari ini. Maklum, lagi dapet jatah wajib bulanan sebagai perempuan, emosi sehari ini berasa terombang ambing. Sedari pagi gak ada hal spesial yang bikin saya senang berlebihan atau kesal berlebihan. Semuanya terasa datar saja. Oh, hampir saja lupa, tadi pagi saya mengantarkan teman saya, si Richie Amabela ke AMC karena dia harus operasi kuku kakinya. Sehabis dari rumah sakit saya langsung berangkat ke kampus. Semuanya baik-baik saja, sampai saatnya saya dan beberapa teman yang sedang ditraktir makan sama dosen mendapat kabar buruk tentang acara seminar yang telah lewat. Akhirnya saya harus balik lagi ke kampus, jam 6 sore.
Setelah sampai di kampus, dengan kelelahan, saya dapet kabar tentang adanya masalah dengan baligo acara seminar kami. Jadi ceritanya waktu kami mau pasang baligo kami sudah sepakat untuk beli bambu dari tukang ojek yang notabene berkuasa atas pemasangan baligo di daerah itu. Harga bambunya sih tidak terlalu mahal, hanya 30 ribu, tapi yang namanya sudah masuk kepanitiaan, uang 500 perak saja pasti berharga. Intinya, kami sudah membeli bambunya, dan bambu itu milik kami. Nah, yang jadi permasalahan adalah malam ini saya dapat kabar kalau si tukang ojek ini mengakunya tidak pernah menjual, namun hanya disewakan. Jadi ketika ada orang yang mau memasang spanduk di bambu tersebut, ya bukan bayar ke kami tapi ke si tukang ojek. Akhirnya hal tersebut memancing emosi saya, dan karena saya orangnya kalau kesal selalu ditahan, akhirnya emosi itu berubah jadi tangis. Air mata pun buyar, meluncur dengan enaknya dari mata.
Saya kesal karena harus berdebat dan merasa ditipu oleh bapak-bapak yang seenaknya menetapkan harga ini-itu, dan seharusnya kami sebagai mahasiswa unpad tidak perlu dikenakan biaya lagi untuk hal-hal sepele seperti ini. Tidak adil. Kecewa, kesal, sedih. Kenapa kalian harus berkolaborasi di waktu yang tidak tepat? Sebal.
Setelah sampai di kampus, dengan kelelahan, saya dapet kabar tentang adanya masalah dengan baligo acara seminar kami. Jadi ceritanya waktu kami mau pasang baligo kami sudah sepakat untuk beli bambu dari tukang ojek yang notabene berkuasa atas pemasangan baligo di daerah itu. Harga bambunya sih tidak terlalu mahal, hanya 30 ribu, tapi yang namanya sudah masuk kepanitiaan, uang 500 perak saja pasti berharga. Intinya, kami sudah membeli bambunya, dan bambu itu milik kami. Nah, yang jadi permasalahan adalah malam ini saya dapat kabar kalau si tukang ojek ini mengakunya tidak pernah menjual, namun hanya disewakan. Jadi ketika ada orang yang mau memasang spanduk di bambu tersebut, ya bukan bayar ke kami tapi ke si tukang ojek. Akhirnya hal tersebut memancing emosi saya, dan karena saya orangnya kalau kesal selalu ditahan, akhirnya emosi itu berubah jadi tangis. Air mata pun buyar, meluncur dengan enaknya dari mata.
Saya kesal karena harus berdebat dan merasa ditipu oleh bapak-bapak yang seenaknya menetapkan harga ini-itu, dan seharusnya kami sebagai mahasiswa unpad tidak perlu dikenakan biaya lagi untuk hal-hal sepele seperti ini. Tidak adil. Kecewa, kesal, sedih. Kenapa kalian harus berkolaborasi di waktu yang tidak tepat? Sebal.
Comments