Skip to main content

ketika emosi mencapai titik ter...

Hari ini saya mau cuhat lagi ah. Setelah cerita tentang si Bapak Bacot saya belum cerita apa-apa lagi kan ya? Ha ha. Saya mau cerita tentang bagaimana emosi saya sedang dipermainkan hari ini. Maklum, lagi dapet jatah wajib bulanan sebagai perempuan, emosi sehari ini berasa terombang ambing. Sedari pagi gak ada hal spesial yang bikin saya senang berlebihan atau kesal berlebihan. Semuanya terasa datar saja. Oh, hampir saja lupa, tadi pagi saya mengantarkan teman saya, si Richie Amabela ke AMC karena dia harus operasi kuku kakinya. Sehabis dari rumah sakit saya langsung berangkat ke kampus. Semuanya baik-baik saja, sampai saatnya saya dan beberapa teman yang sedang ditraktir makan sama dosen mendapat kabar buruk tentang acara seminar yang telah lewat. Akhirnya saya harus balik lagi ke kampus, jam 6 sore.

Setelah sampai di kampus, dengan kelelahan, saya dapet kabar tentang adanya masalah dengan baligo acara seminar kami. Jadi ceritanya waktu kami mau pasang baligo kami sudah sepakat untuk beli bambu dari tukang ojek yang notabene berkuasa atas pemasangan baligo di daerah itu. Harga bambunya sih tidak terlalu mahal, hanya 30 ribu, tapi yang namanya sudah masuk kepanitiaan, uang 500 perak saja pasti berharga. Intinya, kami sudah membeli bambunya, dan bambu itu milik kami. Nah, yang jadi permasalahan adalah malam ini saya dapat kabar kalau si tukang ojek ini mengakunya tidak pernah menjual, namun hanya disewakan. Jadi ketika ada orang yang mau memasang spanduk di bambu tersebut, ya bukan bayar ke kami tapi ke si tukang ojek. Akhirnya hal tersebut memancing emosi saya, dan karena saya orangnya kalau kesal selalu ditahan, akhirnya emosi itu berubah jadi tangis. Air mata pun buyar, meluncur dengan enaknya dari mata.

Saya kesal karena harus berdebat dan merasa ditipu oleh bapak-bapak yang seenaknya menetapkan harga ini-itu, dan seharusnya kami sebagai mahasiswa unpad tidak perlu dikenakan biaya lagi untuk hal-hal sepele seperti ini. Tidak adil. Kecewa, kesal, sedih. Kenapa kalian harus berkolaborasi di waktu yang tidak tepat? Sebal.

Comments

Popular posts from this blog

Kamu Kan Perempuan, Seharusnya Kamu....

Pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat seperti itu di depanmu? Saya, sih, sering. Mulai dikomentari dari segi penampilan dan keahlian, tapi juga dari pilihan musik dan masih banyak lagi. Banyak perempuan di luar sana yang mengeluh merasa didikte oleh laki-laki dengan kalimat ini, tapi entah mengapa saya merasa kalimat ini dilontarkan lebih banyak oleh sesama perempuan. Hal ini menjadi miris buat saya. Bukannya saling memberi dukungan, terkadang sesama perempuan justru saling menghakimi. Penghakiman itu biasanya dimulai dengan kalimat, "Kamu kan perempuan, seharusnya kamu..." 1. "...berpakaian rapi." Saya termasuk perempuan yang suka berpenampilan rapi, tapi kadang juga suka mengikuti mood. Jadi ketika saya ingin tampil rapi, saya bisa saja mengenakan rok span, blouse, serta clog shoes ke kantor. Namun kalau sedang ingin tampil kasual dan malas tampil rapi, saya biasanya memakai kaos, jeans, dan sneakers . Suatu hari saya pernah berpenampil...

my taurus-mate, Mellysa Anastasya Legi.

Saya gak tau gimana ceritanya kami berdua bisa begitu mirip secara kelakuan dan cara berpikirnya. Saya gak ngerti kenapa teman saya ini walau cantik luar biasa tapi kelakuannya sama aja cacatnya sama saya. Saya gak ngerti. Tapi yang saya ngerti, kami sama-sama MUREEEEE... :D

Belajar Mengucap Syukur Lebih Lagi

Selamat tahun baru! Woooh, tahun 2020 ini diawali dengan hal yang mencengangkan banyak orang sepertinya. Banjir yang merata hampir di semua wilayah Jabodetabek (termasuk rumahku di Bintaro tercinta) bikin banyak orang mikir, YA KOK BISA? Bahkan wilayah yang puluhan tahun enggak pernah banjir pun tidak luput merasakan rumahnya tergenang. Walau saya orangnya tidak sepositif ibu saya, beliau kerap berucap, "Puji Tuhan awal tahun dikasih icip hujan berkat sebanyak ini. Tetap ucap syukur." Kadang ketaatan beliau bikin saya geleng-geleng kepala dan nggak habis pikir.  Rumah kemasukan air sampe tergenang dan barang banyak yang terendam, masih bisa ucap syukur. Dulu disakitin sama keluarga sendiri, masih aja ucap syukur. Diizinkan merasakan sakit apa pun itu, tetap ucap syukur. Bahkan kadang saya suka ngedumel dalam hati, ini orang lama-lama bisa masuk golongan toxic-positivity peeps.  Tapi sebelum saya makin terjerumus dalam lembah pergunjing...