Skip to main content

Uh...SNAP!



Saya kemarin malam habis baca-baca bahan skripsi saya. Judulnya "Feminist Thought" karya Rosemarie Putnam Tong. Dari judulnya pasti ketebak kan bukunya tentang apa? Iya, tentang kajian feminisme yang nyerempet-nyerempet skripsi saya. Awalnya saya santai-santai saja membaca tulisan-tulisannya yang banyak membahas Freud tentang psikoanalisis maskulinitas dan femininitas. Tapi ketika sudah masuk pembahasan tentang Oedipus complex, saya merinding. Saya sudah pernah membaca sebelumnya tulisan Freud tentang seksualitas, tapi mungkin karena ini dijabarkan dalam bahasa Indonesia, jadi efeknya lebih "ngena". Di sana dijabarkan bagaimana proses terbentuknya maskulinitas pada anak laki-laki dan femininitas pada anak perempuan, dari mereka bayi sampai dewasa.

Ada satu yang menyentil saya. Dikatakan cinta pertama seorang bayi itu adalah ibu mereka. Namun seiring dengan berjalannya waktu, semakin dewasa dan mengerti, si anak akan tahu kalau mereka tidak dapat memiliki ibunya, karena ia sudah dimiliki oleh ayah mereka. Untuk anak laki-laki, ia akan mencari kompensasi yaitu ke saudara perempuannya. Pada kasus anak perempuan, karena ia tadinya beralih ke ayahnya (untuk memuaskan hasrat seksualnya) maka ia akan mencari sosok ayah di dalam laki-laki lain, entah itu abangnya atau laki-laki lain.

Perhatian saya tertuju pada istilah "abang". Saya anak sulung perempuan di keluarga dan memiliki satu adik laki-laki. Dulu ketika masih duduk di bangku SMA, saya dekat dengan teman yang sudah saya anggap abang saya sendiri. Namun sayangnya, perasaan sayang saya tidak bersambut karena dia benar-benar cuma menganggap saya adik. Sedih. Tapi yang jadi fokus saya adalah, saya baru sadar kalau selama ini kedekatan saya sama laki-laki itu sebenarnya dalam tahap dimana saya mencari orang yang bisa ngemong saya sebagai pengganti ayah saya. Makanya gak heran sih kalau ada anak perempuan yang mencari pasangan "Saya mau suami yang seperti ayah saya".

Merinding karena semua yang diungkapkan oleh Freud kebanyakan benar dan masuk akal, walaupun jadi memperlihatkan bagaimana perempuan itu mahluk yang lemah dan minor sekali. Banyak yang menentang juga karena tidak mau dipandang lemah. Kalau saya secara pribadi sih antara peduli dan tidak, karena akhir-akhir ini saya belum mau peduli dulu dengan pendapat orang lain. Jadi memandang dari luar saja.

Comments

Popular posts from this blog

Kamu Kan Perempuan, Seharusnya Kamu....

Pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat seperti itu di depanmu? Saya, sih, sering. Mulai dikomentari dari segi penampilan dan keahlian, tapi juga dari pilihan musik dan masih banyak lagi. Banyak perempuan di luar sana yang mengeluh merasa didikte oleh laki-laki dengan kalimat ini, tapi entah mengapa saya merasa kalimat ini dilontarkan lebih banyak oleh sesama perempuan. Hal ini menjadi miris buat saya. Bukannya saling memberi dukungan, terkadang sesama perempuan justru saling menghakimi. Penghakiman itu biasanya dimulai dengan kalimat, "Kamu kan perempuan, seharusnya kamu..." 1. "...berpakaian rapi." Saya termasuk perempuan yang suka berpenampilan rapi, tapi kadang juga suka mengikuti mood. Jadi ketika saya ingin tampil rapi, saya bisa saja mengenakan rok span, blouse, serta clog shoes ke kantor. Namun kalau sedang ingin tampil kasual dan malas tampil rapi, saya biasanya memakai kaos, jeans, dan sneakers . Suatu hari saya pernah berpenampil...

my taurus-mate, Mellysa Anastasya Legi.

Saya gak tau gimana ceritanya kami berdua bisa begitu mirip secara kelakuan dan cara berpikirnya. Saya gak ngerti kenapa teman saya ini walau cantik luar biasa tapi kelakuannya sama aja cacatnya sama saya. Saya gak ngerti. Tapi yang saya ngerti, kami sama-sama MUREEEEE... :D

Belajar Mengucap Syukur Lebih Lagi

Selamat tahun baru! Woooh, tahun 2020 ini diawali dengan hal yang mencengangkan banyak orang sepertinya. Banjir yang merata hampir di semua wilayah Jabodetabek (termasuk rumahku di Bintaro tercinta) bikin banyak orang mikir, YA KOK BISA? Bahkan wilayah yang puluhan tahun enggak pernah banjir pun tidak luput merasakan rumahnya tergenang. Walau saya orangnya tidak sepositif ibu saya, beliau kerap berucap, "Puji Tuhan awal tahun dikasih icip hujan berkat sebanyak ini. Tetap ucap syukur." Kadang ketaatan beliau bikin saya geleng-geleng kepala dan nggak habis pikir.  Rumah kemasukan air sampe tergenang dan barang banyak yang terendam, masih bisa ucap syukur. Dulu disakitin sama keluarga sendiri, masih aja ucap syukur. Diizinkan merasakan sakit apa pun itu, tetap ucap syukur. Bahkan kadang saya suka ngedumel dalam hati, ini orang lama-lama bisa masuk golongan toxic-positivity peeps.  Tapi sebelum saya makin terjerumus dalam lembah pergunjing...