Skip to main content

Kamu Kan Perempuan, Seharusnya Kamu....



Pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat seperti itu di depanmu? Saya, sih, sering. Mulai dikomentari dari segi penampilan dan keahlian, tapi juga dari pilihan musik dan masih banyak lagi.

Banyak perempuan di luar sana yang mengeluh merasa didikte oleh laki-laki dengan kalimat ini, tapi entah mengapa saya merasa kalimat ini dilontarkan lebih banyak oleh sesama perempuan. Hal ini menjadi miris buat saya. Bukannya saling memberi dukungan, terkadang sesama perempuan justru saling menghakimi.

Penghakiman itu biasanya dimulai dengan kalimat,

"Kamu kan perempuan, seharusnya kamu..."

1. "...berpakaian rapi."

Saya termasuk perempuan yang suka berpenampilan rapi, tapi kadang juga suka mengikuti mood. Jadi ketika saya ingin tampil rapi, saya bisa saja mengenakan rok span, blouse, serta clog shoes ke kantor. Namun kalau sedang ingin tampil kasual dan malas tampil rapi, saya biasanya memakai kaos, jeans, dan sneakers.

Suatu hari saya pernah berpenampiln cuek seperti ini dan langsung disambut dengan kalimat, "Kok, tumben tomboi amat. Kayak kemarin-kemarin, dong, rapi, cewek banget gitu."

Biasanya, sih, saya jawab saja dengan "lagi pengin pakai kaos," atau "lagi malas dandan."


Saya berpakaian rapi karena saya suka. Saya berpakaian feminin karena suka. Saya pakai high heels karena saya suka. Bukan karena saya perempuan.


2. "...jago dandan."

Baru saja terjadi belakangan ini, yaitu ketika saya, mamah, dan ompung sedang mampir ke toko kecantikan untuk membeli hairspray buat si Ompung. Singkat cerita, si Ompung jadi seru ngobrol soal hobi berdandannya dari Ia masih muda hingga sekarang berumur 82 tahun.

Di satu saat, mamah nyeletuk dan bilang, "Ya mau gimana juga, yang namanya perempuan itu harus bisa tampil rapi, cantik, harus bisa dandan, lah." Sudah dipastikan saya akan menjawab, "Kata siapaaa?" Namun beliau tidak membalas lagi dan bertanya kembali kepada saya sesudah selesai belanja.

"Kenapa kamu jawab gitu?"
"Ya, memang kata siapa perempuan harus bisa dandan, harus tampil rapi? Itu kan kata masyarakat."

Banyak perempuan di luar sana yang tidak suka berdandan. Lalu apa itu tidak menjadikan mereka perempuan? Dan apakah yang jago dandan jadi lebih bernilai dari pada yang lain? Saya rasa tidak.


3. "...bisa masak."

Saya sendiri baru mulai suka masak setelah bekerja. Bahkan ketika kuliah dan harus kost, memasak jarang menjadi pilihan untuk bertahan hidup. Saya lebih memilih untuk beli makanan di luar. Kenapa? Repot.

Memasak itu memakan waktu, butuh persiapan banyak, dan setelah jadi, cucian setumpuk!

Lalu yang menjadi kegelisahan saya, kenapa harus perempuan yang bisa memasak? Seakan-akan kalau laki-laki tidak bisa masak itu adalah hal yang lumrah. Memangnya yang butuh makan perempuan doang?

Jadi kalau buat saya, lagi-lagi, memasak bukan ranahnya perempuan saja. Coba lihat, berapa banyak koki handal di dunia ini yang berjenis kelamin laki-laki?


4. "...suka beberes dan kamarnya enggak berantakan."

Ini yang sering dikeluhnya mamah saya. Kamar saya memang tidak pernah rapi dan pasti ada saja spot berantakannya. Kenapa? Ya, malas aja beberes kamar di hari Sabtu atau Minggu. Penginnya kemulan di kasur, menikmati hari libur.

Kalimat "anak perempuan kok kamarnya berantakan banget, sih," sudah jadi makanan sehari-hari saya dari masih remaja. Sedangkan kamar adik laki-laki saya, yang serupa dengan pondokan baru kena taifun, tidak pernah dikomentari dengan kalimat yang sejenis.

Padahal bukannya kalau ditelisik dari segi kebersihan dan kesehatan, laki-laki dan perempuan itu sama saja, ya? Sama-sama harus rapi dan bersih?


5. "...tampil feminin."


Saya ingat mamah saya selalu bercerita kalau dari kecil saya suka minta dibelikan baju bertemakan princess. Gaun merah muda dengan rok mengembang dan tidak ketinggalan puffed sleeves. Dari kecil saya memang suka baju yang centil, walaupun kelakuan saya cenderung tomboi.

Hal itu terbawa sampai sekarang. Meski sudah pakai baju 'cewek', ketawa saya masih menggelegar, bercandaan saya sering tak senonoh, dan duduk masih suka serampangan, yang kalau dinilai oleh sebagian orang, tidak feminin.

Tapi bagaimana seseorang bersikap dan berpenampilan, harusnya tidak dibatasi dengan gender tertentu. Hanya karena saya perempuan, apakah saya harus suka warna pink karena warna ini dinilai feminin? Seakan-akan kalau sukanya warna hitam jadi tidak perempuan banget.

Hal ini juga berpengaruh terhadap banyak laki-laki, yang enggan memakai warna-warna cerah sperti pink, kuning, atau ungu, karena buat mereka itu adalah warnanya perempuan. Sejak kapan warna mengenal gender?


6. "...kalem."


Dari semua sifat yang digolongkan perempuan banget, mungkin kalem adalah sifat yang tidak saya miliki. Saya mah anaknya centil, petakilan, cerewet, dan berbagai sifat ekstrovert lainnya. Saya cuma kalem kalau ada di lingkungan baru yang belum saya kenal sama sekali.

Apakah saya menjadi kurang perempuan karena saya tidak kalem? Saya rasa tidak.

Banyak teman laki-laki saya yang jauh lebih kalem dari saya dan itu tidak membuat mereka menjadi kurang laki-laki.


7. "...suka senyum."

Nasib punya RBF alias resting bitch face, selalu disangka lagi bete padahal saya lagi bengong dan pikiran kosong.

Seseorang bahkan pernah melontarkan kalimat, "Ya ampun, Drey, kamu kok cantik-cantik mukanya jutek banget? Senyum, dong! Anak perempuan masa cemberut?" di saat saya lagi bengong.

Seakan. Perempuan. Tidak. Boleh. Merasa. Kesal.

Saya tersenyum ketika saya ingin tersenyum dan ada hal yang membuat saya bahagia. Lagi pula, kenapa kalau perempuan tidak tersenyum dibilang jutek, tapi kalau laki-laki dibilang cool? Yang lebih aneh, kalau laki-laki yang ramah senyum, dibilangnya centil. Serba salah.


8. "...nggak suka musik gogonjrengan."

Salah satu teman persekutuan saya pernah terlihat shocked ketika saya ajak buat nonton Barasuara yang kebetulan saat itu sedang manggung di Bintaro. Kalau ada yang belum tahu Barasuara, kalian musti dengar sekarang juga! *fangirling*



Kenapa dia kaget? Karena dia tidak mengira saya suka jenis musik seperti ini. Jadi ketika dia lihat saya berjoget dengan asyiknya, dia tertegun. Belum lagi ketika saya berteriak dan mendendangkan lagu.

Setelah selesai dan ia masih diam, saya tanya, "Kenapa? Enggak nyangka saya suka musik kayak gitu, ya?" dan ia cuma bisa mengangguk. Saya sih tidak menyalahkan dia, tapi memang konsep yang dibentuk oleh masyarakat, perempuan itu wajarnya lemah lembut, sampai ke selera musiknya juga. Lalu apa kabar Nicky Astria?


9. "...jangan pintar-pintar amat."

HAHAHAHAHAHAAAA!!! Saya cuma bisa ketawa ketika ada orang yang bilang begini. Bukan, bukan marah, tapi lebih kasihan.

Dulu saya pernah dekat dengan laki-laki yang melontarkan kalimat sejenis itu. Dia bilang, "Ngapain, sih, Drey, kamu kepikiran lanjut sekolah lagi? Buat apa? Toh, ujung-ujungnya akan di rumah juga kalau habis nikah, ngurus anak dan suami."

Pernyataan dia langsung saya sanggah dengan, "That's why you will never be my husband," dan saya sudah tidak berhubungan lagi dengannya. Ngapain? Buang-buang waktu, tenaga, dan emosi.

Saya sudah lelah dengan penyataan kalau jadi perempuan itu enggak usah pintar-pintar amat, nanti laki-laki enggak ada yang mau. Kok cetek banget ya pikirannya? Saya jadi mikir, apa laki-laki segitu insecure-nya dengan perempuan pintar? Bukannya jadi terpicu untuk tidak kalah pintar, malah menyalahkan perempuan. Cuma laki-laki yang malas dan pengecut yang menganggap perempuan pintar itu menakutkan.

Punya pasangan yang pintar itu enak, tahu, bisa jadi sumber ilmu pengetahuan dan tempat bertukar pikiran. Lagi pula, apa pun jenis kelaminnya, menjadi pintar itu pilihan utama.


10. "...jangan keasyikan kerja, nanti lupa nikah."

Saya simpan ini di nomor terakhir karena sepertinya ini yang paling sering diserukan oleh tetua-tetua di keluarga maupun lingkungan lainnya. Buat saya, ini paling sering dilontarkan oleh tante-tante di lingkungan gereja saya. Apalagi ketika tahu kalau umur saya sebentar lagi 30 tahun. 

Buat sebagian orang, perempuan yang suka bekerja itu ambisius dan sibuk, sehingga melupakan oh-so-called kodrat perempuan, yaitu menikah. Buat saya, kodrat saya sebagai perempuan itu hanyalah menstruasi. Sisanya adalah pilihan, termasuk menikah dan memiliki anak. Memilih untuk tidak menikah dan tidak memiliki anak pun tidak mengurangi nilai seseorang menjadi perempuan.

Ada alasan saya untuk tetap asyik bekerja, yaitu menjadi perempuan yang semakin mandiri, menambah pengalaman, dan mencukupi kebutuhan pribadi saya sehari-hari. Di umur yang sudah 28 tahun gini aja saya masih hidup di rumah orang tua. Lalu apakah saya jadi lupa untuk menikah?

Menikah belum pernah jadi prioritas saya dalam hidup. Ingin, tapi bukan prioritas. Jadi kalau dibilang lupa, sih, ya enggak juga. Tapi memang belum ada yang bisa dijadikan pasangan hidup dan belum menjadi prioritas saja. 


Lalu dari sekian banyak poin yang saya sebutkan, apa kalimat yang paling sering kamu dengar? Atau ada kalimat lainnya yang kamu dapat? 

Saya yakin masih banyak, seperti perempuan seharusnya berpakaian sopan dan tertutup karena akan membuat nafsu birahi laki-laki membuncah, atau perempuan seharusnya nurut aja kalau dibilangin ini-itu dan tidak usah membantah, dan sebagainya.

Menjadi seorang perempuan itu memang tidak mudah. Banyak harapan dan dikte yang ditaruh oleh masyarakat patriakis untuk perempuan, bahkan sejak perempuan itu lahir. Tinggal bagaimana kita menyikapinya, apakah akan ikut dengan "aturan-aturan" tersebut atau memilih untuk menjalani yang membuat kita nyaman.


Comments

Reffi Dhinar said…
mbak saya juga merasa tekanan karena sudah umur 26 tapi belum merid,,,dan harus belajar masak bla bla, disaranin nggak sekolah lagi,,setelah membaca ini saya jadi lebih bersemangat buat tetep jadi diri sendiri
Unknown said…
Adik perempuan saya sdh berumur diatas 30th tapi blm menikah. Dia sdh bergelar doktor yg dia raih di universitas ternama di australia dan skrg dia bekerja sbg peneliti di salah satu lembaga riset besar di belanda. Dia sdh memiliki bbrp publikasi internasional, sering travelling ke berbagai negara untuk keperluan pekerjaannya, dan dia menikmati hidupnya dgn bahagia dgn mengerjakan apa yg menjadi passionnya selama ini. Saya iri sama dia dgn segala pencapaiannya di usia mudanya. U go girl and conquer the world ����
Anonymous said…
Belum lagi kalau pas melahirkan harus SC,,ntar dibilang belum wanita kalau belum lahiran normal...hellooo...duuuh...kejam...
Salma Mufidah said…
Yang nomor terakhir itu orang tuaku banget, padahal aku masih 18 tahun udah "didoktrin" suruh nikah cepet-cepet
Hai, mbak Reffi. Kalau buat saya, selama menjadi lajang tidak menggangu kebahagiaan saya, segala tekanan dari lingkungan saya anggap angin lalu saja. Semangat ya, mbak! :))
Anonymous said…
Hai mba. Salam kenal.
Suka bgt sama tulisanya! Hampir semuanya aku pernah ngalamin tp ada ada beberapa yang belum:)
Sampai sekarang, aku malah punya cita-cita, aku harus bisa kuliah sampe s3 dan punya cita-cita jadi dosen jg.
Ada keluarga yg blg, jangan sekolah tinggi2, nanti laki-laki takut deketin. Sayangnya, saya suka laki2 yg pintar.
Makanya saya selalu punya pikiran, jika saya mau punya laki2 yg pintar, saya harus pintar terlebih dahulu.
Ada yang blg jg, punya mimpi jangan ketinggian. Tp saya ga peduli, karena saya punya cita-cita:)
gitadine said…
BARASUARA ROCKS!!!!! Also you rock for writing this. Thank you thank you!
BARASUARAAAAAAAAAAAAAAAAA. HAHAHAHAHAHAHAHA. suka sekali sama tulisannya <3
Amimah Halawati said…
Mantap tulisannya mbak. Kadang ada yang rada gemuk dikit juga ditegur sama ortunya, disuruh ngelangsingin biar gampang dapet cowok -_-"
sindi said…
Kl dulu pas masih tinggal di rumah orang tua yg paling sering denger adalah "anak perempuan ga boleh bangun siang" which is so hilarious to me dari dulu sampe skrg. Apa hubungannya coba anak perempuan sama bangun siang. As if cm anak cowo yg boleh bangun siang. Tp tetep aja bodo amat, dari dulu smp skrg emg hobi bangun siang. Smp dpt kerja yg modelnya shift2an sore malam jd setiap hari emg pantesnya bangun siang. Eat that, Dad
"Kamu tuh perempuan, harus suka makanan pedes" pas aku nanya balik "kenapa? Apa hubungannya?", di jawabnya "biar bisa bikin sambel". wtf, selera makanan ga ada hubungannya dengan jenis kelamin. Kalo aku ga suka pedes dan sambel ya udah ga suka aja. Emang ga suka pedes langsung auto bukan perempuan gitu?
princessIndri said…
Tulisannya mengena bangeet.
Setujuu sama kak Audrey :)
Semua poin yang dijabarkan kak Audrey sudah dan sedang saya alami skrg.
tapi bodoh amat lah yaa.. selama saya bahagia dan menikmati hidup ini, saya sih ga mikirin kata orang :)
Anw, makasih banget tulisannya kakak. <3
Unknown said…
Suka dan setuju banget sama pemikiran kamu hahaha. Kirain aku doang yang mikir gini..
Anonymous said…
Aku sering banget dpt komentar yang sama kyk nomer 7...hahahahaa..
Lhaaaa....cetakan muka gw emang gini kalo diem, mau diapain lagi.
Sampe akhirnya males jawab panjang2, aku tinggal pergi aja.
Anonymous said…
Maaf no means to offense, tapi Semoga artiket ini bukan menjadi self defense untuk tidak mengakui kekurangan/yang telah dilakukan diri sendiri ya. Memang kebanyakan permasalahan ttg wanita ini adalah karena kebiasaan yang akhirnya turun temurun dan dipercayai masyarakat, yg akhirnya jadi tolak ukur kayak wanita harusnya gini, gini, gini. Ive been trough it dan terus2 o comment dan hanya tersenyum sampai akhirnya berda di titik poin dimana saya sadar bahwa tolak ukur itu ada untungnya juga kalau dijadikan kebiasaan kita.. mungkin solusinya adalah, nantinya kita mulai membiasakan diri untuk ga komen dan menghakimi orang lain juga, kayak cowo harusnya gini, mama harusnya gini, adik harusnya gini, dan mulai menghapuskan tolak2 ukur di masyarakat. Saya juga punya teman berusia 24 tahun, yang ingin sekolah lagi (s1 lagi) karena sampai dia kerja sekarang dia ga suka sama bekas jurusannya dan punya mimpi utk lulus di jurusan lain. Tapi akhirnya dia terlalu takut karena akan banyak tantangan, terutama dr masyarakat, pasti bilang kok belum nikah? Kok ditinggalin kerjanya yang lalu? Udah cewe tinggal di rumah aja ngurus keluarga. Well, semoga generasi kita yang nantinya jadi orang2 tua dan jadi masyarakat di masa depan bisa memberikan nasehat dan pandangan2 yang lebih baik lagi.
bagus said…
This comment has been removed by a blog administrator.

Popular posts from this blog

Mencoba Perawatan Facial dan Massage di Umandaru Salon & Day Spa Bintaro

Mumpung lagi semangat-semangatnya nulis lagi, jadi sekalian aja deh bahas pengalaman saya facial dan massage di Umandaru Salon and Day Spa yang ada di Bintaro. Berawal dari rencana cuti sehari karena mau medical check up di pagi harinya (baca pengalaman medical check up di sini ), lalu diri ini punya ide, "Hmmm... sudah lama tidak me time. Apakah lanjut pampering diri yang sudah butek ini?" Akhirnya saya bagikan kegundahan ini di IG Story dan bertanya pada teman-teman super, enaknya ke mana kalau mau facial dan massage di area Bintaro. Ada beberapa rekomendasi yang masuk, seperti Platinum Wijaya, Anita Salon, dan salah satunya Umandaru Spa. Nah, kalau Platinum Wijaya dan Anita Salon, saya sudah sering dengar soal dua tempat facial/salon ini, tapi tidak untuk yang Umandaru Spa. I want something new. Asheeek. Akhirnya coba search di Instagram dan ternyata Umandaru Spa menawarkan cukup banyak pilihan perawatan, mulai dari facial, spa, massage, sampai creambath dan meni

Pengalaman Medical Check Up di Rumah Sakit Jakarta

Sumber: http://www.yayasanrsjakarta.org Detik-detik menuju umur 30 tahun. Inhale. Exhale. *dramak* Sebenarnya nggak detik-detik juga, sih. Masih hitungan bulan dan bukan termasuk orang yang takut untuk memasuki umur baru, kecuali ketika saya memasuki umur 27 tahun. Sila baca cerita absurd nan yahudnya di sini . Sulit dipercaya, namun saya adalah orang yang santai dan tidak takut beranjak tua, tidak takut keriput, dan tidak takut dengan kematian. Cause one day, we'll die anyway.  Walau rutinitas skincare saya termasuk banyak dan lumayan rajin menunaikan ibadah 7 steps, tapi itu bukan untuk menghalau datangnya keriput di usia senja (ya kali nggak keriputan...). Lebih untuk menjaga kondisi kulit di usia sekarang biar tak kusan. Ya, syukur-syukur kalau nanti pas tua nggak jadi kelihatan kuyu. Tetap glowing adalah tujuan heyduuup. Namun, bukan berarti saya termasuk yang nggak peduli dengan kesehatan, apalagi saya sadar kalau semakin tua umur kita, akan semakin mudah kita diser

#30DaysWritingChallenge: 5 Hal yang Bikin Saya Bahagia

Mari kita mulai tantangan menulis selama 30 hari! Berawal dari rajin update di Instagram Story tentang #30daysongchallenge yang sudah selesai lama, akhirnya memutuskan harus ikut challenge yang lain. Anaknya sungguh ambisius. *yeah right* Setelah cari-cari di Pinterest, akhirnya ketemu yang pas dan bisa dilakukan setiap hari, yaitu "30 Days Writing Challenge". Hitung-hitung, ini sebagai penebus dosa karena sudah lama tidak update di blog. Kesibukan kerja dan ngurusin tulisan orang lain seringnya bikin lupa dengan tulisan sendiri. Tantangan di hari pertama, saya akan nulis soal 5 hal yang bikin saya bahagia. Kalau kalian mengharapkan akan dapat tulisan menye-menye tentang betapa bahagianya saya memiliki keluarga yang selalu support segala keputusan saya, siap-siap kecewa karena saya tidak akan menulis soal itu di sini. Alasannya jelas, karena itu mah sudah pasti bikin bahagia. D'uh. Saya itu orangnya bisa dibilang mudah bahagia. Makan makanan enak, b