Skip to main content

Bahagia dalam Sangkar

Tatapanku tertuju pada langit biru di atas sana. Tidak terlalu biru, sih, karena ada sedikit sentuhan abu-abu gelap di sebelah kanan akibat hadirnya si awan pembawa hujan. Akhir-akhir ini sering hujan. Kadang tidak berhenti dari pagi sampai malam. Udara terasa sejuk sekali, sampai kadang-kadang aku kedinginan. Tapi tidak jadi masalah, karena biasanya aku langsung diberikan selimut. Coba saja kalau aku bebas di sana, aku pasti kehujanan dan basah kuyup. Nanti bulu-buluku yang indah ini jadi terlihat lusuh. Aku terlalu indah untuk berupa buruk. Aku memang ada untuk tinggal di dalam perlindungan, bukan terbang bebas di luar sana. Buat apa bebas kalau nantinya aku jadi harus bersusah payah bersaing dengan yang lain? Terlalu merepotkan.

Bicara soal bersaing, aku tidak perlu khawatir kalau sudah menyangkut makanan. Ketika yang lain sibuk bangun pagi untuk berebut sarapan terbaik, aku tidak perlu melakukan hal serupa. Aku tinggal menunggu tangan yang membawakan segenggam biji-bijian, yang bisa langsung aku santap tanpa ada rasa khawatir akan direbut oleh yang lainnya. Hidupku nikmat, ya? Persetan dengan hukum alam yang seharusnya membuat aku berjuang dan mengikuti seleksinya.

Memang salah kalau aku sudah nyaman dengan segala fasilitas yang serba cuma-cuma ini? Beberapa teman yang di luar sana sering menghampiriku dan berusaha membujukku untuk ikut terbang bebas bersama mereka di langit luar dan mengepakan sayap sekencang-kencangnya. Aku sempat tergoda, tapi setelah memikirkan kalau aku harus bekerja keras, aku langsung mengurungkan niatku. Biarlah aku di sini saja, di dalam sangkar yang minim ancaman. Aku rasa ini saja cukup. Iya, cukup.


Comments

Popular posts from this blog

Kamu Kan Perempuan, Seharusnya Kamu....

Pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat seperti itu di depanmu? Saya, sih, sering. Mulai dikomentari dari segi penampilan dan keahlian, tapi juga dari pilihan musik dan masih banyak lagi. Banyak perempuan di luar sana yang mengeluh merasa didikte oleh laki-laki dengan kalimat ini, tapi entah mengapa saya merasa kalimat ini dilontarkan lebih banyak oleh sesama perempuan. Hal ini menjadi miris buat saya. Bukannya saling memberi dukungan, terkadang sesama perempuan justru saling menghakimi. Penghakiman itu biasanya dimulai dengan kalimat, "Kamu kan perempuan, seharusnya kamu..." 1. "...berpakaian rapi." Saya termasuk perempuan yang suka berpenampilan rapi, tapi kadang juga suka mengikuti mood. Jadi ketika saya ingin tampil rapi, saya bisa saja mengenakan rok span, blouse, serta clog shoes ke kantor. Namun kalau sedang ingin tampil kasual dan malas tampil rapi, saya biasanya memakai kaos, jeans, dan sneakers . Suatu hari saya pernah berpenampil...

my taurus-mate, Mellysa Anastasya Legi.

Saya gak tau gimana ceritanya kami berdua bisa begitu mirip secara kelakuan dan cara berpikirnya. Saya gak ngerti kenapa teman saya ini walau cantik luar biasa tapi kelakuannya sama aja cacatnya sama saya. Saya gak ngerti. Tapi yang saya ngerti, kami sama-sama MUREEEEE... :D

Belajar Mengucap Syukur Lebih Lagi

Selamat tahun baru! Woooh, tahun 2020 ini diawali dengan hal yang mencengangkan banyak orang sepertinya. Banjir yang merata hampir di semua wilayah Jabodetabek (termasuk rumahku di Bintaro tercinta) bikin banyak orang mikir, YA KOK BISA? Bahkan wilayah yang puluhan tahun enggak pernah banjir pun tidak luput merasakan rumahnya tergenang. Walau saya orangnya tidak sepositif ibu saya, beliau kerap berucap, "Puji Tuhan awal tahun dikasih icip hujan berkat sebanyak ini. Tetap ucap syukur." Kadang ketaatan beliau bikin saya geleng-geleng kepala dan nggak habis pikir.  Rumah kemasukan air sampe tergenang dan barang banyak yang terendam, masih bisa ucap syukur. Dulu disakitin sama keluarga sendiri, masih aja ucap syukur. Diizinkan merasakan sakit apa pun itu, tetap ucap syukur. Bahkan kadang saya suka ngedumel dalam hati, ini orang lama-lama bisa masuk golongan toxic-positivity peeps.  Tapi sebelum saya makin terjerumus dalam lembah pergunjing...