Menurut KBBI, 'Penyintas' berasal dari kata 'sintas' yang berarti terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Sehingga kata penyintas memiliki arti orang yang mampu bertahan hidup. Kata penyintas ini kerap digunakan beriringan dengan 'pelecehan seksual', yang bisa kita simpulkan memiliki arti 'orang-orang yang mampu bertahan hidup dari peristiwa pelecehan seksual'.
Pelecehan seksual ini bisa bermacam-macam bentuknya, mulai dari yang paling ekstrem, yaitu pemerkosaan, sampai yang biasanya dianggap remeh oleh banyak orang (baik perempuan ataupun laki-laki) yaitu catcalling.
Di tengah seringnya orang mengalami pelecehan seksual, ternyata jarang sekali ada yang mau dan berani untuk angkat bicara mengenai peristiwa pelecehan tersebut. Menurut survei daring yang diadakan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene, 93% dari korban pelecehan seksual enggan membicarakan pengalaman mereka, bahkan enggan melaporkan dan membawanya ke ranah hukum. Alasannya pun beragam, tapi dari yang selalu saya dapatkan dari orang di sekitar saya ketika ditanya kenapa tidak mau bercerita, ada 3 alasan paling umum kenapa para penyintas enggan angkat bicara.
1. Malu
Kebanyakan orang yang saya kenal, ketika mengalami pelecehan seksual, mereka justru malu dengan kejadian tersebut. Malu, karena ketika mereka coba bercerita, banyak orang yang menganggapnya itu hal kecil yang dibesar-besarkan. Malu, karena menurut beberapa orang, wajar hal itu terjadi padanya. Misalnya, wajar dilecehkan karena memakai baju yang oh-so-called terbuka atau ketat. Malu, karena sebagian besar dari mereka merasa pelecehan yang mereka alami adalah sebuah aib yang tidak boleh diketahui oleh orang lain.Saya pribadi sempat mengalami hal ini, di mana saya malu untuk menceritakan hal yang saya alami. Kenapa? Karena saat itu saya pikir pelecehan ini terjadi karena kesalahan saya juga. Siapa suruh mengizinkan dia ke rumah? Siapa suruh masih mau berlaku ramah dan memberi celah? Siapa suruh saat itu pakai celana pendek rumahan?
Tapi akhirnya saya memutuskan untuk bercerita ke orang terdekat, yang saya bisa percaya. Saya masih ingat saat itu dia hanya bilang, "I really want to kill this guy." Saya yakin itu cuma luapan amarahnya, tapi saya bersyukur kalau tidak sekalipun terlontar dari mulutnya kata-kata yang memojokkan saya. Saya merasa aman.
Pelecehan seksual bukanlah aib atau dosa yang harus ditutupi. Itu bukan kesalahan para korban. Kamu tidak perlu malu.
2. Penilaian dari orang lain
Berhubungan dengan istilah menghakimi di poin sebelumnya, sebagai makhluk sosial, manusia cenderung mempertimbangkan penilaian orang lain tentang dirinya. Mulai dari soal cara berpakaian, cara bertutur kata, bahkan cara kita berpikir pun kadang dipengaruhi oleh penilaian dari orang lain.Salah satu contohnya adalah ketika kita enggan memakai rok pendek karena karena majalah yang kita baca, perempuan dengan paha besar sebaiknya jangan memakai rok mini karena akan membuat paha kita terlihat semakin besar. Atau, sebagai seorang perempuan seharusnya bertutur kata yang lemah lembut, karena perempuan harus terus terlihat anggun dan bla... bla... bla...
Penilaian dari orang lain juga mempengaruhi pikiran para penyintas. Tidak bisa dipungkiri banyak orang justru menilai para korban pelecehan dengan penilaian yang negatif. Misalnya seorang korban pelecehan dinilai berlebihan, mencari perhatian, atau mengada-ngada karena tidak bisa memberikan bukti yang valid. Hal seperti ini biasa terjadi kalau pelakunya merupakan orang yang terpandang atau terkenal. Tak jarang para penyintas justru sering dinilai aji mumpung. Aji mumpung kok ngaku-ngaku diperkosa, kayak nggak ada cara lain aja.
Atau, yang sedihnya, banyak orang yang memandang rendah korban perkosaan karena buat mereka "kehormatan" si perempuan sudah tidak ada lagi. Hal ini kerap terjadi di lingkungan yang menganggap nilai berharga seorang perempuan hanya sebatas keutuhan selaput dara. Sebagai perempuan, saya tersinggung, sih, kalau nilai diri saya cuma dilihat dari selangkangan saja. Seakan value diri saya yang lain tidak ada harganya.
3. Membuka luka lama
Yang namanya pelecehan seksual pasti meninggalkan bekas dan trauma pada para penyintas. Beruntunglah para penyintas yang sudah bisa merangkul masa lalu mereka dan berdamai, sehingga ketika mereka menceritakan kembali yang mereka alami, hal tersebut justru semakin menguatkan diri mereka dan mengingatkan akan perjuangan yang sudah mereka tempuh untuk berdamai.Saya termasuk orang yang sudah berdamai dengan masa lalu saya dan diri sendiri. Saya sudah berani menceritakan luka yang pernah saya icip di masa lalu ke orang-orang terdekat saya. Saya cukup beruntung karena mereka bukanlah orang-orang yang menghakimi para penyintas. Tapi, dengan perdamaian yang sudah saya buat dan dengan dukungan-dukungan dari orang terdekat, bukan berarti trauma itu hilang begitu saja.
Orang yang melecehkan saya berada di satu lingkungan ibadah yang sama dengan saya dan saya masih sering bertemu dengannya. Tidak bisa dipungkiri, setiap saya melihat dia ada, jantung saya berdebar. Masih mending kalau debarannya seperti orang jatuh cinta, tapi debaran ini seperti kamu takut dimarahi guru karena lupa bikin PR atau belum menghapal butir-butir Pancasila. Setakut itu.
Luka itu masih ada. Sudah dibalut dan diobati berkali-kali. Tapi setiap bertemu atau ketika orang bertanya tentang hubungan kami, luka itu kembali menganga. Saya rasa saya bukan satu-satunya orang yang merasakan hal ini, sedamai apa pun saya dengan masa lalu.
Dengarkan mereka
Jika saja lebih banyak orang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi. Jika saja lebih banyak tangan terbuka untuk merangkul dan berkata, "tidak apa, saya di sini untuk kamu." Jika saja lebih banyak orang yang tidak menganggap para penyintas mengada-ada, mungkin mereka akan lebih mudah bercerita, membagikan pengalaman mereka ke banyak orang, tanpa takut dianggap aib.
Berbagi cerita untuk menguatkan para penyintas lainnya.
Berbagi cerita untuk menguatkan para penyintas lainnya.
Butuh keberanian yang besar untuk berbicara dan butuh dukungan dari orang terdekat agar kami bisa tetap berdiri tegak.
Comments