Menyudahi sesuatu itu enggak gampang. Apalagi kalau kita terlanjur nyaman dan merasa aman di dalamnya. Ketika kita berada di zona aman, kadang kita terlena dan menutup mata akan semua hal negatif yang sebernarnya kita alami tanpa sadar. Saya punya sahabat yang sudah pacaran bertahun-tahun. Saya pikir dia bahagia sama si cowok dan punya pikiran untuk menikah nantinya. Ternyata setelah dengar ceritanya, ia bilang kalau dia enggak pernah kepikiran untuk nikah sama si cowok karena cowok ini masih childish banget, not a husband material. Lalu saya tanya kenapa dia masih juga pacaran sama si cowok kalau memang enggak ada tujuan yang jelas? Jawabannya sederhana banget: karena gue udah nyaman sama dia. Sahabat saya enggak tahu akan ketemu cowok seseru dan senyambung kayak pacarnya ini apa enggak kalau mereka putus. Dia banyak tutup mata kalau cowoknya kelewat egois, bermulut kasar, bahkan suka flirting sama cewek lain. It doesn't make sense to me.
Walaupun itu enggak masuk akal di saya, ternyata saya pun mengalami hal yang sama, terlena akan zona aman. Saya terlena akan adanya sosok laki-laki yang sesekali memperhatikan saya, sesekali memanjakan saya, dan sesekali membuat saya bahagia. Pikir saya, "enggak apa-apa, deh, walaupun cuma sesekali. Siapa tahu besok bisa jadi lebih baik." Pada kenyataannya hal itu enggak terjadi dan enggak akan pernah terjadi. Ibaratnya, saya lagi menantikan munculnya unicorn sungguhan di dunia. Berkali-kali saya kecewa dan berkali-kali pula saya memaafkan, begitu terus siklusnya. Tanpa sadar, ada bom waktu yang berjalan dan menunggu untuk meledak. Ada satu titik di mana saya memutuskan ini semua harus berhenti. Saya harus keluar dari zona nyaman ini dan memulai sesuatu yang baru. Sekali lagi, bukan hal yang mudah untuk keluar dari kenyamanan ini. Setiap kali saya ingin bilang jujur kalau saya lelah dengan keadaan kayak begini, ada saya yang menghalangi. Entah dia yang tiba-tiba jadi super perhatian atau tatapan matanya yang bikin luluh. Iya, semudah itu saya goyah. Sampai satu malam saya ambil sikap dan bilang, "saya mau lepas dari kamu dan saya mau maju ke cerita yang lebih baik." Rasanya? Hati saya hancur, tapi lega pada saat yang sama.
Saya enggak bisa bilang siapa yang salah dalam cerita ini, tapi saya bisa bilang karena keputusan sayalah makanya saya dan dia ngalamin ini semua. Karena saya yang mengijinkan dia bolak-balik masuk dan keluar dari hidup saya, selama 2 tahun lebih, saya pula yang harus menyelesaikan masalah. Saya banyak belajar dari kejadian ini. Saya belajar bagaimana saya sebagai perempuan harus punya standar kebahagiaan. Saya perlu tahu bedanya antara bahagia karena benar-benar terpuaskan atau seakan-akan bahagia karena enggak mau kehilangan. Kalau ditanya apakah saya merasa sedih dengan memutuskan untuk pergi, saya akan jawab.....sedih banget. 2 tahun bukan waktu yang singkat. I cried all night like a teenage girl, but I have to face it no matter what.
Panjang ya curhatnya? Sudah biasa lah, ya.
Walaupun itu enggak masuk akal di saya, ternyata saya pun mengalami hal yang sama, terlena akan zona aman. Saya terlena akan adanya sosok laki-laki yang sesekali memperhatikan saya, sesekali memanjakan saya, dan sesekali membuat saya bahagia. Pikir saya, "enggak apa-apa, deh, walaupun cuma sesekali. Siapa tahu besok bisa jadi lebih baik." Pada kenyataannya hal itu enggak terjadi dan enggak akan pernah terjadi. Ibaratnya, saya lagi menantikan munculnya unicorn sungguhan di dunia. Berkali-kali saya kecewa dan berkali-kali pula saya memaafkan, begitu terus siklusnya. Tanpa sadar, ada bom waktu yang berjalan dan menunggu untuk meledak. Ada satu titik di mana saya memutuskan ini semua harus berhenti. Saya harus keluar dari zona nyaman ini dan memulai sesuatu yang baru. Sekali lagi, bukan hal yang mudah untuk keluar dari kenyamanan ini. Setiap kali saya ingin bilang jujur kalau saya lelah dengan keadaan kayak begini, ada saya yang menghalangi. Entah dia yang tiba-tiba jadi super perhatian atau tatapan matanya yang bikin luluh. Iya, semudah itu saya goyah. Sampai satu malam saya ambil sikap dan bilang, "saya mau lepas dari kamu dan saya mau maju ke cerita yang lebih baik." Rasanya? Hati saya hancur, tapi lega pada saat yang sama.
Saya enggak bisa bilang siapa yang salah dalam cerita ini, tapi saya bisa bilang karena keputusan sayalah makanya saya dan dia ngalamin ini semua. Karena saya yang mengijinkan dia bolak-balik masuk dan keluar dari hidup saya, selama 2 tahun lebih, saya pula yang harus menyelesaikan masalah. Saya banyak belajar dari kejadian ini. Saya belajar bagaimana saya sebagai perempuan harus punya standar kebahagiaan. Saya perlu tahu bedanya antara bahagia karena benar-benar terpuaskan atau seakan-akan bahagia karena enggak mau kehilangan. Kalau ditanya apakah saya merasa sedih dengan memutuskan untuk pergi, saya akan jawab.....sedih banget. 2 tahun bukan waktu yang singkat. I cried all night like a teenage girl, but I have to face it no matter what.
Panjang ya curhatnya? Sudah biasa lah, ya.
Comments