Skip to main content

Mengenai Zona Nyaman

Ini namanya Mas Oren. Dia lagi tidur bareng boneka beruang kesayangan. Sebel. Sok imut.

Terkadang melepaskan hal yang sudah lama menjadi suatu kebiasaan itu tidak mudah. Tidak mudah mengganti menu makanan menjadi serba plant based kalau selama hidup terbiasa makan protein hewani. Tidak mudah membiasakan diri untuk minum air mineral minimal 2 liter sehari kalau selama ini lebih suka mengonsumsi minuman berasa. Tapi walau tidak mudah, bukan berarti tidak bisa.

Ada seorang kenalan yang sempat menasihati saya, kalau zona nyaman itu merupakan zona paling berbahaya. Kok bisa? Kan, enak bisa ada di zona yang familiar, yang membuat kita merasa di rumah. Iya, memang enak, namun kadang sangking enaknya, kita lupa kalau masih banyak hal yang belum kita coba, yang bisa membuat kita berkembang. 

Keluar dari zona nyaman awalnya akan membuat kita merasa aneh, setidaknya itu yang saya rasakan. Dan karena bukan sesuatu yang mudah, pastinya kita dituntut untuk mengeluarkan effort lebih, sampai akhirnya kita jadi terbiasa. Kalau kata pepatah zaman dulu "Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian." Selama kita tahu tujuan keluar dari zona nyaman ini untuk hal yang lebih baik, saya rasa sakitnya akan sebanding dengan hasil di depan. 

Sebuah pengakuan

Saya pun baru-baru ini keluar dari zona nyaman saya, bisa dibilang kemakan sama omongan saya sendiri. Kualat. Jadi, saya sempat beberapa kali dijadikan tempat curhat soal percintaan. Biasalah, menghadapi ketidakpastian suatu hubungan. Sebagai orang yang direct, saya selalu memberi saran "Ya, tanya langsung, dong. Jangan tunggu dikasih kepastian, kamu yang jemput kepastiannya." Asyik, ya, nyuruh-nyuruh orang seenak jidat?  He-he-he.

Nah, akhir tahun 2019, sampailah saya di situasi yang serupa dengan problematika di atas. Awalnya cuek, belagak tidak peduli. Sok menganut paham "kalau memang jodoh, nggak akan kemana." Ha. Ha. Pret. Lalu saya ingat dengan nasihat saya sendiri ke teman-teman saya soal berani konfrontasi, berani jemput kepastian. Rasanya? Jujur, mules. Tapi dalam hati ada suara kecil berkata, "Jangan bisanya bacot aja, lakuin. Berani ambil langkah karena ini udah nggak sehat dan ini demi kesehatan mentalmu."

Saya sapa dia pukul 1.30 dini hari dan untungnya dijawab saat itu juga. Tanpa melewatkan kesempatan, saya pun bertanya pertanyaan yang sederhana, "Saya bisa berharap lebih atau nggak? Kalau selama ini hanya flirting saja, berarti saya nggak perlu ambil pusing." Sampai sekarang tidak ada balasan sama sekali dan buat saya itu sebuah jawaban. Saya lega.

Lega karena akhirnya ada benang kusut yang terurai. Lega karena akhirnya salah satu misteri hidup terpecahkan. Lega karena finally I did something for myself, finished the unfinished business. 

Masih banyak PR

Saya rasa masih banyak zona nyaman yang harus mulai saya dobrak, dengan catatan memang untuk tujuan yang lebih baik. Keluar dari zona nyaman bukan untuk ikut-ikutan orang lain hanya demi dibilang keren dan mengikuti tren. Keluat dari zona nyaman itu soal membentuk diri menjadi versi yang lebih well-developed. 

Selamat memberanikan langkah untuk mendobrak. Tuhan Yesus memberkati! :)

Comments

Popular posts from this blog

Kamu Kan Perempuan, Seharusnya Kamu....

Pernah mendengar seseorang mengucapkan kalimat seperti itu di depanmu? Saya, sih, sering. Mulai dikomentari dari segi penampilan dan keahlian, tapi juga dari pilihan musik dan masih banyak lagi. Banyak perempuan di luar sana yang mengeluh merasa didikte oleh laki-laki dengan kalimat ini, tapi entah mengapa saya merasa kalimat ini dilontarkan lebih banyak oleh sesama perempuan. Hal ini menjadi miris buat saya. Bukannya saling memberi dukungan, terkadang sesama perempuan justru saling menghakimi. Penghakiman itu biasanya dimulai dengan kalimat, "Kamu kan perempuan, seharusnya kamu..." 1. "...berpakaian rapi." Saya termasuk perempuan yang suka berpenampilan rapi, tapi kadang juga suka mengikuti mood. Jadi ketika saya ingin tampil rapi, saya bisa saja mengenakan rok span, blouse, serta clog shoes ke kantor. Namun kalau sedang ingin tampil kasual dan malas tampil rapi, saya biasanya memakai kaos, jeans, dan sneakers . Suatu hari saya pernah berpenampil...

my taurus-mate, Mellysa Anastasya Legi.

Saya gak tau gimana ceritanya kami berdua bisa begitu mirip secara kelakuan dan cara berpikirnya. Saya gak ngerti kenapa teman saya ini walau cantik luar biasa tapi kelakuannya sama aja cacatnya sama saya. Saya gak ngerti. Tapi yang saya ngerti, kami sama-sama MUREEEEE... :D

Belajar Mengucap Syukur Lebih Lagi

Selamat tahun baru! Woooh, tahun 2020 ini diawali dengan hal yang mencengangkan banyak orang sepertinya. Banjir yang merata hampir di semua wilayah Jabodetabek (termasuk rumahku di Bintaro tercinta) bikin banyak orang mikir, YA KOK BISA? Bahkan wilayah yang puluhan tahun enggak pernah banjir pun tidak luput merasakan rumahnya tergenang. Walau saya orangnya tidak sepositif ibu saya, beliau kerap berucap, "Puji Tuhan awal tahun dikasih icip hujan berkat sebanyak ini. Tetap ucap syukur." Kadang ketaatan beliau bikin saya geleng-geleng kepala dan nggak habis pikir.  Rumah kemasukan air sampe tergenang dan barang banyak yang terendam, masih bisa ucap syukur. Dulu disakitin sama keluarga sendiri, masih aja ucap syukur. Diizinkan merasakan sakit apa pun itu, tetap ucap syukur. Bahkan kadang saya suka ngedumel dalam hati, ini orang lama-lama bisa masuk golongan toxic-positivity peeps.  Tapi sebelum saya makin terjerumus dalam lembah pergunjing...